Alan Hansen mantan pemain Liverpool yang kini menjadi pundit sepakbola di Inggris sana dalam salah satu interviewnya pernah mengatakan demikian “You can’t win anything with kids.” Hal ini disampaikannya pada pembukaan Liga Inggris musim1995-1996. Saat itu Manchester United berhasil mengalahkan Aston Villa dengan skor 3-1 setelah menjual 3 pemain bintangnya Paul Ince, Mark Hughes, dan dan Andrei Kanchelskis. Dan mengenalkan dunia dengan nama-nama seperti Scholes, Beckham, Butt, Neville bersaudara dan Giggs. Disinilah keraguan seorang Alan Hansen muncul. Saya tidak tahu atas dasar apa dia sampai mengeluarkan kalimat itu. Entah itu karena dia adalah mantan pemain Liverpool yang punya sejarah perseteruan paling rumit dengan MU atau memang dia sedang berpikir serasional mungkin bahwa MU tidak akan menjuarai apapun pada musim itu dengan kehadiran ‘anak-anak kecil’.
Saya adalah penggemar Manchester United, saya tidak
menganggap saya sebagai fanatik karena banyak teman-teman yang lebih pantas
saya sebut sebagai fanatik. Apalagi musim ini Manchester United sedang dalam
masa transisi dari era kepelatihan Sir Alex Ferguson ke tangan The Chosen One,
David Moyes. Di tangan Moyes MU berhasil duduk dibawah Everton (sampai laga
minggu kemarin). Ketika MU kalah, banyak fans fanatik yang menquote ucapan Sir
Alex pada hari pensiunnya musim lalu. “Your job now is stand by our new
manager” begitu kira-kira ucapannya. Kalau saya malah menghujat habis ketika MU
kalah ataupun bermain bak tim semenjana yang baru promosi dari divisi Championship.
"There is nothing more beautiful than seeing him arriving at that hole, everybody just battling about in the penalty area, there's a big hole outside the penalty box, there he is arriving." Danny Boyle
Munculnya documenter The Class of ’92 ditengah-tengah
permainan buruk MU musim ini seperti membatalkan puasa disiang bolong dengan es
teler. Sebenarnya berita mengenai dokumenter ini tidak tercium adanya sampai
pada, kalau saya tidak salah November lalu situs resmi club mengumumkan tanggal
perilisannya.
"It's almost slow motion. He glides on top of the surface. His feet don't touch the ground." Phil Neville
Mulai dari pertandingan FA Cup melawan Liverpool yang
dianggap Beckham&Gary Neville sebagai pertandingan dengan atmosfer terbaik
musim itu, Kinerja luar biasa Scholes pada final piala FA, Pertandingan penutup
musim 98-99 ketika Beckham harus melawan klub kebanggan kakeknya, Spurs demi
menjuarai liga inggris, momen dimana Butt harus menggantikan peran Scholes di
final Liga Champions melawan Bayern Muenchen, dan tak ketingggalan momen magis
Ryan Giggs ke gawang Arsenal di semifinal FA Cup yang sampai membuat komentator
berkata’Eropa baru saja melihat seorang pesihir melakukan sihirnya’. Semua akan
membawamu kembali ke masa-masa jaya MU pada 2 dekade lalu. Dimana saya yakin
rata-rata penggemar MU adalah anak-anak generasi emas yang terakhir dilahirkan,
anak-anak ‘90 an.
Tidak hanya diisi oleh para pemain-pemain saja, dokumenter
ini juga menghadirkan beberapa cameo yang tidak asing seperti Sir Alex Ferguson
waau sebentar, Zinedine Zidane, Eric ‘The King’ Cantona. Bahkan setelah
menontonnya saya baru tahu kalau mantan perdana menteri Inggris Tony Blair dan
sutradara Slumdog Millionaire Danny Boyle adalah fans Manchester United. Mereka
disini berperan sebagai saksi betapa hebatnya angkatan 92 ini dan pengaruhnya
kepada dunia.
Ah jika saja si tua yang tidak tahu umur itu (andah tahu
siapa) sudah berhenti dari dunia sepakbola maka The Class of ’92 adalah sebuah
penutup manis berakhirnya sebuah era. Glory Glory Manchester United!
"There was still a capacity to be greater together than you were alone." Tony Blair
No comments:
Post a Comment