Sunday, March 5, 2017

Review: Logan (2017)


Logan. Tidak perlu memikirkan timeline X-Men yang memang sudah njelimet itu. Cukup duduk dan nikmati film superhero pembuka tahun 2017 (berani saya katakan salah satu yang terbaik tahun ini) atau anggap saja ini bukan film superhero melainkan drama brutal, pahit, keras dan kebetulan ada salah satu tokoh komik paling ikonik di era milenium baru di dalamnya.



Tahun 2029. Keberadaan mutan sudah langka. Logan menuju usia tua. Berganti profesi menjadi semacam sopir uber. Menghidupi Prof. Charles Xavier dan satu rekan mutannya yang tersisa, Calliban. Satu hari, Logan mendapat pesanan menjemput ibu dan seorang anak yang tenyata merupakan mutan yang dicari profesor selama 2 tahun terakhir. Sang ibu meminta Logan untuk menyelamatkan anaknya dari sebuah instansi yang memperalat anak-anak sebagai senjata pembunuh. Karena ternyata profesor menyebut anak ini mirip dengan Logan, sangat mirip malah.


"Fuck". Sebelum Deadpool yang memulainya berapa kali kalian dengara kata-kata ini di dunia Marvel yang tone-nya gembira dan hore-hore? Kata itu adalah kata pembuka film dan sudah menjadi peringatan keras bagi penontonnya ini bukan film Marvel yang kalian inginkan. Jika Deadpool membawa rating R superhero ke arah bejat dan konyol, Logan membawamu ke rating R berat, gersang, keras, brutal dan hampir tanpa sentuhan comic-relief. Saya senang James Mangold mengarahkan Logan ke arah demikian dan berhasil di cerita dan luar biasa di akting. Memposisikannya di level The Dark Knight, namun sedikit di bawah secara kualitas.

Logan berhasil merepresentasikan bagaimana rasanya tidak bisa mati dan bagaimana rasanya menderita karena tidak punya tujuan hidup yang jelas. Semua dikerucutkan dalam satu tubuh bernama Hugh Jackman yang sudah khatam memerankan Wolverine dan disini adalah gambaran terbaik Wolverine yang diperankannya. The way he limps, the way he stares, the way he looks vulnerable inside out. Benar-benar menunjukkan seseorang yang mengalami krisis di usia senja. Serta dukungan Sir Patrick Stewart yang membuka range baru untuk Prof. Charles Xavier yang dikenal wise dan santun menjadi grumpy old man yang suka mengumpat. Di satu sisi telihat sebagai comic relief karena kita belum terbiasa , di sisi yang lain terlihat begitu menyedihkan .

Dan pada akhirnya, jika kalian lihat dari sudut pandang yang luas, Logan bukanlah film superhero. Tidak ada adegan menyelamatkan penduduk sipil. Ini tentang bagaimana memberikan salah satu karakter superhero paling ikonik sebuah closure yang layak dan berhati besar. Then pass on its story, its knowledge, and its survival skill to our soon-to-be badass heroine, Dafne Keen.




No comments:

Post a Comment