Thursday, June 5, 2014

Review: The Grand Budapest Hotel (2014)


Kalau misalnya ada klasifikasi tertentu bagi para penonton karya Wes Anderson mungkin saya masih ada digolongan amatir atau bahkan seorang newbie. Moonrise Kingdom yang dipuji para kritikus 2 tahun lalu sebagai salah satu coming-of-age cinta monyet terbaik saja saya sampai saat ini masih belum menyelesaikannya sampai habis. Saya masih belum terbiasa dengan gaya penyutradaraan Wes.

Lalu tahun ini Wes muncul kembali dengan The Grand Budapest Hotel bersanding dengan X-Men: Days of Future Past sebagai 2 film dengan ensemble cast paling hebat tahun ini. Bedanya, The Grand Budapest Hotel tak semeriah efek yang digunakan dalam X-Men. Namun isinya tidak bisa dianggap sembarangan.

"She was dynamite in the sack, by the way." Gustave

Gustave H adalah pemilik resmi hotel pink megah yang berdiri pada jaman perang bernama The Grand Budapest Hotel. Gustave yang juga menjalin hubungan dengan Madame D suatu hari didekati oleh seorang lobby boy bernama Zero Moustafa agar bisa bekerja di hotel miliknya.

Tak lama setelah dipekerjakan kabar mengejutkan menghantam Gustave ketika mendengar kekasihnya, Madame D ditemukan tewas di dalam kamar dengan sepucuk surat wasiat. Gustave yang hadir di pemakaman ditemani Zero juga kaget mendengar surat wasiat yang mengatakan bahwa lukisan Boy with Apple (arguably the most luxurious thing in that period) diwariskan kepada Gustave yang menyulut kemarahan keluarga besar Madame D. Disinilah petualangan owner hotel dan lobby boy nya dimulai.

Sedikit demi sedikit seiring film berjalan saya mulai memahami mengapa Wes Anderson mempunyai fans sendiri melalui karya-karya yang diciptakannya. Selalu ada signature touch di setiap film buatannya. Witty dialogue, karakter minim ekspresi, shot-shot cantik yet somehow they are also symmetrical. Inilah yang saya temukan di film ini. Membutuhkan waktu memang untuk menyesuaikan diri tapi itulah yang membuat The Grand Budapest Hotel terasa spesial dan sangat berbeda.

"Don't flirt with her." Zero Moustafa

Tidak hanya itu kru desain produksinya juga harus diberi acungan jempol berkat kemampuan mereka menghasilkan set Budapest Hotel lengkap dari bentuk-bentuk bangunan, kostum pemain, aransemen musik latar yang begitu menyatu dengan gaya Wes Anderson yang unik. Saya tidak akan kaget jika nanti akan diganjar nominasi Oscar untuk kategori Design Production.

Untuk para pemainnya sendiri mungkin Ralph Fiennes dan Tony Revolori yang tampil dominan sepanjang film dengan chemistry mereka yang menarik. Namun ketika harus berbenturan dengan para aktor lainnya seperti Adrien Brody, Saoirse Ronan, Edward Norton sampai Bill Murray masih terasa sangat menyenangkan untuk dinikmati walaupun hanya muncul sesekali.

The Grand Budapest Hotel adalah film pertama Wes Anderson yang berhasil saya selesaikan termasuk didalamnya berisi pesan yang ingin di sampaikan kepada penonton. Agak klise memang namun tidak terlalu menjadi masalah mengingat bagaimana Wes Anderson menyajikannya. Adegan dimana karakter Willem Defoe dengan 'trap door' nya itu mungkin akan menjadi (not exactly) Kill of The Year.

"There are still faint glimmers of civilization left in this barbaric slaughterhouse that was once known as humanity." Gustave

No comments:

Post a Comment