Thursday, July 17, 2014

Review: Step Up: All In (2014)


Saya kira ini sudah berakhir. Berkata dalam hati sendiri melihat franchise joget-joget ini seharusnya sudah tamat begitu menginjak installment ke 3 nya 2010 lalu. Bukan hanya pantas disudahi saat itu, Step Up 3D adalah yang terbaik dari seluruh saga Step Up. Tapi mau diapakan lagi Hollywood tetap Hollywood. Selama masih bisa meraup untung, buat saja sekuelnya, peduli setan soal kualitas.
 

Duduk di kursi sutradara ada Trish Sie yang pertama kali saya dengar namanya dengan sokongan dari John M. Chu yang kali ini hany bertindak sebagai produser. Step Up: All in mengambil timeline setelah kejadian di Step Up Revolution. Dimana Sean dkk yang berhasil dengan kru The Mob nya mencoba peruntungan di Los Angeles. Sayang nasib tak memihak dan membawa pulang seluruh anggota kru kembali ke Miami kecuali Sean.

Sean yang belum menyerah menghubungi Moose untuk membuat grup baru bernama LMNTRIX untuk mengikuti kontes tari The Vortex yang berhadiah kontrak kerja selama 3 tahun di Las Vegas.


Nyaris tidak ada yang baru dari film ini. Semua jenis tarian, musik EDM (or dare I say Dubstep-y), bisa kamu temui pada film-film-film sebelumnya lengkap dengan plot familier untuk film tari. Apalagi kalau bukan kebangkrutan dan dituntut untuk membenahi nasib lewat sebuah kontes tari. Semua begitu tertebak, apalagi John Swetnam dan Duane adler yang menulis naskah menambahkan bumbu romansa cliche antara Andie-Sean dan Moose-Camille (Yes, Camille from 4 years ago) yang malah membuat semua plotnya tertumpuk tak tersentuh seperti buku akuntansimu.

Satu-satunya hal positif yang bisa diambil dari Step Up: All In adalah kembalinya kru 401 yang menurut saya pribadi adalah kru terbaik dalam saga Step Up. Dan juga kembalinya Briana Evigan sebagai Andie sedikit menyegarkan mata ditengah teriknya matahari ramadhan Surabaya.

Seharusnya saya mengikuti saran teman saya untuk tidak melihat film ini hanya karena saya laki-laki. Nasi sudah menjadi bubur, saya sudah terlanjur suka dengan Step Up dan yang tersisa sekarang hanya musik dubstep yang tak berirama yang memekakan telinga.



No comments:

Post a Comment