Thursday, September 25, 2014

Review: Tabula Rasa (2014)


Tak banyak film lokal yang menerima buzzer nyaring sebelum penayangannya kecuali kalau itu melibatkan The Raid atau film keluaran Joko Anwar dan Riri Reza. Tabula Rasa bisa jadi sebuah sleepr hit untuk film lokal tahun ini melihat media promosinya yang hanya menggunakan buzzer dari kritikus dalam negeri dan penggunaan akun sosial media yang efektif.


Hans, pemuda asal papua ini mulanya bermimpi menjadi seorang pemain sepakbola dengan hijrah ke ibukota Jakarta. Namun kerasnya Jakrta tidak mampu ditaklukan Hans sehingga sekarang harus bekerja serabutan demi mengisi perut yang lapar. Keadaan inilah yang membuatnya tidak tahan sampai berniat mengakhiri hidupnya.

Malang, niat Hans harus berhenti setelah ditemukan Emak dan Uda Natsir pingsan ditengah jembatan penyeberangan. Hans dibawa ke rumah makan Padang Takanajuo, rumah makan milik Emak yang berniat menolong Hans dengan mempekerjakannya sebagai pegawai yang masalahnya mengerti nol tentang dunia kuliner.


Tampak luar, mungkin banyak orang akan menganggap Tabula Rasa sebagai jiplakan Chef punya Jon Favreu yang rilis lebih awal tahun ini. Memang makanan menjadi jualan utama kedua film ini namun jelas Tabula Rasa memiliki perasaan personal tersendiri bagi kamu yang menontonnya. Berbeda dengan Chef yang mengundang rasa lapar penonton lewat makanan barat kelas kaum atas, Tabula Rasa memulai semuanya dari rumah makan padang kecil yang bisa kalian temui di seluruh penjuru nusantara dan dapat dinikmati semua strata sosial.

Keunggulan film besutan sutradara Adiyanto Dewo ini terletak pada sisi teknis. Mulai dari shot masakan, visualisasi hubungan karakter dan tata audio yang begitu baik membuat setiap desisan gorengan ikan kakap yang terdengar akan menggodamu untuk mencari rumah makan Padang terdekat selepas film usai.


Sementara untuk urusan skrip yang digodok oleh Tumpal Tampubolon terasa kurang menggali karakter-karakter yang ada didalamnya sehingga penampilan Dewi Irawan, Yayu Unru, Ozzol Ramdan, dan Jimmy Kobogau tidak tersampaikan meskipun mereka berempat sudah menunaikan pekerjaan mereka dengan bagus terutama Jimmy Kobogau yang masih hijau di dunia perfilman.

Tabula Rasa
adalah gambaran nyata di dunia modern penuh dengan kecanggihan teknologi, manusia masih memerlukan sebuah sentuhan manusiawi yang tidak sempurna. Seperti sendok yang adakalanya sia-sia disediakan karena tidak mampu mengalahkan kenikmatan makan nasi Padang langsung menggunakan tangan.


No comments:

Post a Comment