Wednesday, March 19, 2014

Review: The Monuments Men (2014)


Rencananya The Monuments Men memang dirilis tahun lalu. Alasan dari George Clooney selaku sutradaranya adalah masalah penyempurnaah efek dan CGI yang belum memuaskan. Tentu saja keputusan ini mengundang banyak pertanyaan dari para pecinta film dikarenakan The Monuments Men diprediksi memiliki materi-materi yang dapat mengantarkan mereka ke dalam ajang penghargaan.

"If you destroy their history, you destroy their achievements and it's as if they never existed.That's what Hitler wants and that's exactly what we are fighting for." Frank Stokes

Bagi yang belum tau, The Monuments Men berkisah tentang Frank Stokes dan 6 orang temannya yang tergabung dalm kelompok bernama 'The Monuments Men' yang ditugaskan oleh pihak sekutu untuk mengambil kembali barang-barang seni curian dari tentara Nazi pimpinan Adolf Hitler pasca Perang Dunia II berakhir.

George Clooney sudah menuai banyak pujian ketika menjabat 3 tugas dalam Ides of March 2011 lalu. Harapan yang sama dituntut oleh para penggemar film. Tetapi apa yang disajikannya dalam The Monuments Men sangat jauh dari harapan. Saya suka sekali ide Clooney mengambil tema tentara penyelamat benda seni yang baru pertama kali saya dengar. Bisa dibilang Clooney hanya menjual nama-nama mentereng dalm daftar cast nya.

"Your lives are more important than a piece of art." Frank Stokes

Dari awal cerita The Monument Men sudah mengindikasikan bahwa film ini adalah film gagal. Scene pertemuan antara Frank Stokes dan James Granger itu sangat similar sekali bahkan terkesan mecomot dari adegan Danny Ocean ketika merekrut Rusty untuk merampok 3 kasino Las Vegas dalam Ocean Eleven. Tak berhenti sampai disitu kekacauan naskah semakin menjadi ketika para anggota The Monuments Men harus berpencar ke beberapa negara untuk menemukan benda-benda seni tersebut dan mengharuskan Clooney membuat storytelling masing-masing regu. Hasilnya sangat tidak rapi. Eksekusi adegan begitu tergesa-gesa. Scene demi scene saling loncat-meloncat tak beraturan. Ketika masuk satu scene tertentu, Clooney langsung mengalihkan scene ke regu lain tanpa penyelesaian atau dialog yang mumpuni. Juga telalu banyaknya adegan tidak penting yang bisa dipotong.

Penggunaan aktor-aktris kelas A macam Matt Damon, Bill Murray, John Goodman, Jean Dujardin sampai Cate Blanchett pun seakan tersia-siakan oleh narasi yang ditulis George Clooney dan Grant Heslov yang tidak memberikan kesempatan sama sekali karakter-karakternya untuk berkembang sehingga mereka disini tampak bermain ala kadarnya dan makan gaji buta.

"It's for Stahle." Claire Simone

Kejadian menarik ketika credit scene bergulir. Anda pasti sudah tahu kebiasaan penonton Indonesia pada saat ini. Kecuali film keluaran Marvel, penonton pasti akan langsung menuruni tangga dan keluar dari studio begitu credit title muncul. Hal sebaliknya terjadi ketika saya menonton The Monuments Men. Mereka semua belum beranjak dari tempat duduk dan masih terdiam, terpana, terbata. Bukan karena ada ending yang mengejutkan atau apa. Dari apa yang saya tangkap dari raut wajah mereka masih tidak percaya apa yang baru saja mereka tonton dengan ending yang dibiarkan begitu saja. Bahkan orang-orang yang berada dalam ruang kendali sampai lupa menghidupkan lampu studio.

Yang patut dipuji adalah penundaan perilisan film setalah ajang Oscar. Karena banyak sekali web, portal, blog film yang menjagokan The Monuments Men menjadi pesaing kuat di ajang penghargaan tersebut. Bayangkan jika The Monuments Men rilis tahun lalu dan membuat para penulis-penulis artikel tersebut tampak malu dan bodoh. 

"Right now, you wish that German had shot you." Richard Campbell

No comments:

Post a Comment