Friday, March 28, 2014

Review: The Raid 2: Berandal (2014)


Ini dia yang ditunggu-tunggu semua kalangan pecinta film internasional, khususnya Indonesia. The Raid yang dirilis 2011 menjelma menjadi sebuah film aksi revolusioner bagi genre action pada umumnya terutama Hollywood yang masih memilh stuntman atau menggunakan CGI untuk mengambil adegan aksinya. Toronto Film Festival yang menjadi ajang debut Gareth Evans sampai melakukan standing ovation selama 5 menit. Karena memang didalamnya The Raid menawarkan sesuatu yang jarang ditemui pada film-film aksi akhir-akhir ini. Sebut saja desingan peluru, gelontoran darah dan yang menjadi jualan utamanya koreografi perkelahian tangan kosong yang terinspirasi dari pencak silat.


Lalu bagaimana reaksi publik ketika Gareth Evans mengakhiri The Raid yang sukses itu dengan segudang pertanyaan yang belum terjawab. Tentu sekuel ini sudah sangat diantisipasi penayangannya. Gareth Evans langsung melanjutkan kisah Rama yang berhasil selamat dari serbuan maut dalam gedung 30 lantai itu dengan menyamarkan identitas dirinya sebagai seorang narapidana untuk melacak dan menggali informasi keberadaan koruptor kelas kakap di institusi kepolisisan bernama Bangun. Tugas yang diberikan langsung oleh Bunawar, satu-satunya polisi yang masih bisa dipercaya dengan memenjarakan Rama ini ditujukan untuk melindungi anak dan istri Rama dari kejaran anak buah Bangun.


Tahun ini mereka sukses menghebohkan panggung Sundance. Bukti nyata adalah ketika film ini melakukan premier nya, timeline dunia maya seakan tidak pernah berhenti menghujani Berandal dengan beribu-ribu pujian hingga dibanding-bandingkan dengan Gangs of New York dan Bourne Trilogy. Dengan hal ini saja sudah mebuat ekspektasi saya membumbung tinggi mengingat film sebelumnya sudah sangat memuaskan.


Gareth Evans tampak sudah belajar banyak mengenai apa-apa saja kekurangan yang dimiliki oleh predesor nya. Disini Gareth Evans berhasil mengisi keroyokan aksi-aksi pemacu adrenalin dengan memberikan sedikit intrik dalam tubuh para mafia yang diceritakan disini. Memang bukan drama yang sering dibilang para pemainnya. Namun penambahan plot cerita itu sudah cukup untuk mengimbangi action sequence yang tidak akan anda temukan di film Hollywood manapun seperti adegan 'perang lumpur' dan car chase yang saya jamin membuat anda terpukau dan mengumpat sejadi-jadinya karena terlalu keren. Tapi ada satu yang belum memiliki peningkatan yaitu dari segi dialog. Sama seperti predesornya dialog dalam film ini ada beberapa bagian yang kurang terdengar sehingga membuat bingung penonton dan masih terlihat kaku memilih kata 'saya, kamu, gue, lu' dan sangat tidak konsisten.


Untuk urusan pemain, semua sudah tampil maksimal. Perkembangan paling berarti ada di karakter Rama yang dimainkan Iko Uwais. Iko membuktikan bahwa dia tidak hanya jago baku hantam namun juga memberikan akting yang lumayan. Arifin Putra mencuri perhatian penonton dengan penampilannya yang dingin dan kompleks sebagai anak dari Bangun, yang dimainkan Tio Pakusadewo yang belum bisa menyaingi aura Ray Sahetapy. Deadliest brothers-sisters tahun ini sudah layak diberikan kepada Baseball-Bat Man dan Hammer Girl yang walaupun hanya diberikan satu-dua patah dialog kemunculan mereka selalu menarik perhatian. Dan inilah kejutan besar yang disimpan The Raid 2: Berandal. Anda pasti sudah tahu salah satu pernikahan terheboh tahun lalu adalah Marsha Timothy dan Vino G Bastian. Tapi yang anda tidak tahu adalah sebenarnya MadDog adalah suami Marsha Timothy.

Jika punya rencana menonton The Raid 2: Berandal saya punya beberapa saran. Pegang erat tempat duduk anda, pastikan anda sudah kencing, siapkan mental menyaksikan suara-suara patah dan muncratan darah yang dihasilkan melalui palu, stik baseball, bulan sabit(saya tidak tahu namanya), mobil, silet atau apalah anda sebutkan sendiri karena The Raid 2: Berandal adalah salah satu film aksi terhebat yang pernah diciptakan.


No comments:

Post a Comment