Saturday, December 14, 2013

Review: The Hunger Games: Catching Fire (2013)


Sebelum The Hunger Games ditransformasikan ke dalam media film tahun lalu, banyak kalangan yang membandingkan karya tulis Suzanne Collins ini dengan Twilight-nya Stephanie Mayer berkaitan materi novelnya yang serupa mengenai cinta segitiga. Dan semenjak menonton filmnya saya hanya bisa berdoakepada Tuhan agar mereka yang membandingkan The Hunger Games dan Twilight dimasukkan ke neraka yang paling dalam dan tidak akan mengampuni dosa mereka, karena memang mereka telah melakukan sebuah dosa besar.

"From now on, your job is to be a distraction. So people forget what the real problems are." Haymitch Abernathy

The Hunger Games menjelma menjadi salah satu franchise paling menjanjikan dengan film pertamanya yang meraih hampir 700 juta dollar di seluruh dunia dan critically acclaimed. Tidak sulit bagi Lionsgate untuk melanjutkan kesuksesan yang meraka raih dengan sekuelnya The Hunger Games: Catching Fire.

Katniss Everdeen kembali ke kampung halamannya setelah memenangkan Hunger Games ke 74 bersama ‘pasangan’nya Peeta Meelark. Dengan kemenangan tersebut Mereka berdua harus melakukan Victory tour ke seluruh distrik dan meyakinkan penduduk Capitol bahwa mereka berdua (yang sebenarnya bukan pasangan) adalah benar-benar sepasang kekasih, ini semua tidak terlepas dari intervensi Presiden Snow yang mencium aroma pemberontakan dari seluruh penjuru distrik sejak kemenangan Katniss. Kemudian dimulailah akal busuk Snow untuk menghabisi seluruh pemenang Hunger Games dengan mengadakan Hunger Games ke 75 atau Quarter Quell. Tak pelak ini membuat seluruh mantan pemenang murka. Ini adalah sinopsis singkat, tapi percayalah ada permasalahan lebih kompleks didalamnya.

"We are all of us united. Both victors and vanquished, in serving a common purpose. Panem today, panem tomorrow, panem forever." Katniss Everdeen

Budget produksi yang dilipatkan sekian kali dari predesornya, pergantian kursi sutradara adalah keputusan tepat. Ini sudah melebihi predesornya dari segi skrip, visual, intensitas, dan akting para pemainnya. Dalam urusan skrip, para penulis melakukan tugasnya dengan baik dengan memperdalam intrik politik dalam permainan Hunger Games dengan subplot pemberontakan dan cinta segitiga tanpa harus jatuh menjadi bodoh dan cheesy seperti cinta segitiga yang ‘itu’. Tensinya berjalan begitu rapi dari awal hingga akhir sehingga membuatmu untuk tetap terjaga.

Visual efeknya akan membuatmu berkata ‘wow’. Lihat saja rangkaian kejadian ‘Kabut beracun, Tsunami dari atas gunung, Monyet-monyet CGI ganas, hujan darah dan yang paling menarik perhatian tentunya Dress on fire yang dipakai Katniss lalu kemudian berubah menjadi gaun yang mengingatkan saya dengan Black Swan nya Natalie Portman. Semua akan membuat matamu terbelalak.

"Say good-bye and forget them. I do my best, thinking of them one by one, releasing them like birds from the protective cages inside me, locking the doors against their return." Katniss Everdeen

Tetapi bintang utamanya adalah Jennifer Lawrence yang menjadi perempuan lebihtangguh dari filmnya. Lihatlah bagaimana pembawaan karakternya yang selalu diiputi dilema. Harus berbohong demi menyelamatkan orang-orang yang dicintainya. Selalu kangen dengan Gale (Liam Hemsworth), tetapi hanya Peeta Meelark (Josh Hutcherson) yang selalu ada bersamanya sepanjang turnamen. Semua diperankan Jennifer hampir sempurna.Poin plus juga harus saya berikan kepada Phillip Seymour Hoffman, Jeffrey Wright, dan siapa lagi kalau bukan Jena Malone. Mereka bertiga berhasil memerankan karakter yang misterius yang akan terus membuatmu bertanya “Siapa sih orang ini?” sampai akhirnya semua dijawab melalui ending yang epic itu (saya bukan pembaca novelnya).

Ini adalah salah satu dari sedikit sekuel yang berhasil melampaui film pendahulunya dengan naskah cerita yang kuat dan kekuatan berperan para pemerannya.


NB: Terima kasih buat Hani & Nitami (sudah 2x ya). That cliffhanger, tho. Errghh!


No comments:

Post a Comment